Pengertian Tujuan Instruksional
Umum
Kegiatan belajar-mengajar
atau kegiatan pengajaran sering juga disebut dengan istilah Instruksional. Dari
istilah “instruksional” ini kemudian muncul istilah “tujuan
instruksional”. Soemarsono dalam bukunya “Tujuan Instruksional”, – sebagaimana
yang dikutip oleh Suharsimi Arikunto – mendefenisikan tujuan
instruksional sebagai tujuan yang menggambarkan pengetahuan,
kemampuan, keterampilan dan sikap yang harus dimiliki oleh siswa sebagai
akibat dari hasil pengajaran yang dinyatakan dalam bentuk tingkah laku (behavior)
yang dapat diamati dan diukur.[1] Selanjutnya tujuan instruksional ini
dibagi menjadi dua macam, yaitu Tujuan Instruksional Umum (TIU), dan Tujuan
Instruksional Khusus (TIK).
Dalam bahasa Inggris
terdapat sejumlah istilah yang menyatakan tujuan yang bersifat umum,
seperti “aim”, “general purpose”, “goal”, dan sebagainya.
Sedangkan dalam Prosedur Pengembangann Sistem Instruksional (PPSI) biasa
disebut dengan Tujuan Instruksional Umum atau disingkat TIU.[2] Adapun yang dimaksud dengan Tujuan
Instruksional Umumadalah suatu kegiatan mengidentifikasi kebutuhan
instruksional untuk memperoleh jenis pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang
tidak pernah dipelajari atau belum dilakukan dengan baik oleh peserta didik, (yang
mana) jenis pengetahuan, keterampilan dan sikap tersebut masih bersifat
umum atau garis besar.[3] Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa Tujuan
Instruksional Umum hanya menggariskan hasil-hasil yang bersifat umum pada
kegiatan belajar dari setiap mata pelajaran yang harus dicapai oleh setiap
peserta didik.
Jika kita berbicara
tentang tujuan umum, biasanya sering terjebak ke dalam kalimat indah dan muluk
kedengarannya, tetapi akan menemui kesukaran bila hendak diwujudkan karena
menimbulkan tafsiran yang aneka ragam menurut pandangan masing-masing. Misalnya
tujuan: “menjadi manusia yang baik”, “yang bertanggungjawab”, “bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa”, “yang mengabdi kepada masyarakat”, dan sebagainya. Tujuan
yang umum seperti itu sangat kabur dan tidak bisa diukur tingkat
keberhasilannya, bahkan berpotensi melahirkan macam-macam tafsiran. Kita tidak
tahu dengan jelas apa yang dimaksud dengan “baik”, “bertanggungjawab” atau
“mengabdi kepada masyarakat”. Oleh sebab itu TIU harus dianalisis sebagai
bersifat umum, dan karena itu tidak memberi pegangan yang mantap untuk
menentukan bahan, strategi penyajian, maupun penilaian.[4] Untuk itu, Tujuan Instruksional Umum harus
dijabarkan secara khusus ke dalam Tujuan Instruksional Khusus.
Dalam dunia pendidikan
dikenal sejumlah usaha untuk menguraikan tujuan yang sangat umum ini. Salah seorang
di antaranya ialah Herbert Spencer[5] (1860)
yang menganalisis tujuan pendidikan dalam lima bagian yang berkenaan dengan:
- Kegiatan demi kelangsungan hidup.
- Usaha mencari nafkah.
- Pendidikan anak.
- Pemeliharaan hubungan dengan masyarakat dan negara.
- Penggunaan waktu senggang.[6]
Hasil analisis Herbert
Spencer di atas masih sangat umum dan perlu diuraikan lebih lanjut. Tokoh yang
pertama berusaha memperinci tujuan pendidikan secara sistematis adalahFranklin
Bobbitt[7].
Dalam bukunya How to Make a Curiculum (1924) ia mengemukakan
cara yang sistematis tentang menentukan tujuan pendidikan, yakni dengan
meneliti kegiatan-kegiatan manusia dewasa dalam kehidupan masyarakat. Ia
menemukan 10 kelompok kegiatan utama yang banyak kesamaannya dengan
penggolongan Herbert Spencer. Akan tetapi Franklin Bobbitt menguraikannya lebih
lanjut menjadi 10 bidang yang lebih khusus. Usahanya itu dijuluki orang pada
waktu itu sebagai permulaan “gerakan ilmiah” dalam pembinaan kurikulum, karena
menurut pendapat mereka kurikulum serupa itu didasarkan atas penelitian. Dan
sejak saat itu timbullah kurikulum dengan tujuan-tujuan yang lebih terinci.
Setiap kurikulum diisertai oleh tujuan-tujuan khusus sebagai hasil analisis
dari tujuan-tujuan yang lebih umum.[8] Namun meski begitu, analisis yang mereka lakukan
belum sampai kepada taraf analisis dan rumusan tujuan khusus seperti yang
dituntut dalam teknologi pendidikan sekarang yakni sebagai tujuan berbentuk
perilaku peserta didik yang dapat diamati dan diukur keberhasilannya setelah
memperoleh suatu pelajaran.
Adapun manfaat dalam
menentukan tujuan instruksional; baik tujuan instruksional umummaupun khusus di
antaranya:
- Menentukan tujuan (objective) proses belajar mengajar
- Menentukan persyaratan awal instruksional
- Merancang strategi instruksional
- Memilih media pembelajaran
- Menyusun instrumen tes pada proses evaluasi (pre-tes dan post-tes)
- Melakukan tindakan perbaikan atau improvement pembelajaran[9]
B- Kriteria Perumusuan
Tujuan Instruksional Umum
Benjamin S. Bloom[10] membagi tujuan
instruksional menjadi tiga kawasan menurut jenis kemampuan yang tercantum di
dalamnya. Tujuan yang mempunyai titik berat kemampuan berfikir disebut tujuan
dalam kawasan kognitif. Yang termasuk dalam kawasan kognitif
adalah kemampuan mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis, mensintesis,
dan mengevaluasi sesuatu. Adapun tujuan yang mempunyai fokus keterampilan
melakukan gerak fisik disebut tujuan dalam kawasan psikomotor.
Yang termasuk dalam kawasan psikomotor adalah kemampuan meniru melakukan suatu
gerak, memanipulasi gerak, merangkaikan berbagai gerak, melakukan gerakan
dengan tepat dan wajar. Sementara tujuan instruksional ketiga adalah
kawasan efektif, yakni yang berintikan kemampuan bersikap.[11]
Tujuan instruksional
dalam kawasan mana pun harus dirumuskan dalam kalimat dengan kata kerja dan
opreasional, serta yang menunjukkan kegiatan yang dapat dilihat. Kalimat “Siswa
akan dapat menjelaskan atau menguraikan sesuatu” lebih tepat digunakan
daripada “Siswa dapat mengerti, memahami, atau mengetahui sesuatu”.
Perhatikan contoh di
bawah ini:
- Siswa akan dapat menggunakan dengan baik program Microsoft Office untuk membuat data dalam mata pelajaran Teknologi Informatika dan Komunikasi (TIK).
- Siswa akan dapat menyusun rekapitulasi data adminstrasi keuangan dengan menggunakan program Microsoft Office.
- Siswa akan dapat mendemonstrasikan lompat tinggi gaya flop (suatu lompat tinggi yang digunakan kebanyakan juara saat ini).
Ketiga contoh Tujuan
Instruksional Umum (TIU) di atas masing-masing terdiri atas 4
(empat) bagian, yaitu:
1) Orang yang
belajar.
Dalam kalimat-kalimat di
atas orang belajar adalah siswa, bukan pengajar atau bukan orang lain. Tujuan
memang harus berorientasi kepada siswa. Seringkali pengajar atau pengelola
pendidikan yang lain membuat perumusan yang berorientasi kepada mereka sendiri
sepertu dua contoh berikut:
- Tujuan pelajaran ini adalah mengajarkan cara mengoperasikan Microsoft Office dalam membuat data pada komputer;
- Program ini akan membahas secara mendalam tentang fungsi dan kegunaan program Microsoft Office dalam komputer.
Kedua contoh perumusan
tujuan tersebut di atas tidak memperhatikan apa yang akan dicapai oleh siswa
atau peserta didik. Keduanya dapat ditafsirkan bahwa sepanjang pengajar membahas
atau mengajarkan pelajaran yang dimaksud atau program pengajaran berisi
pelajaran tersebut, maka tujuan telah tercapai, walaupun peserta didik belum
dapat melakukan apa-apa.
2) Istilah yang
digunakan adalah “akan dapat” bukan dapat atau sudah dapat.
Kalimat “akan dapat”
menunjukkan bahwa tujuan instruksional dirumuskan sebelum peserta didik mulai
belajar. Dan tujuan itu akan dicapai setelah proses belajar. Istilah “akan
dapat” itu dihubungkan dengan kata kerja yang menunjukkan hasil belajar
bukan kata kerja yang berorientasi kepada proses belajar seperti (siswa)
mempelajar, membaca. Tujuan harus berorientasi kepada hasil belajar, bukan
kepada proses belajar. Dengan demikian, bila ada perumusan tujuan yang
berbunyi: “Siswa akan mempelajari teknik pengoperasian Microsoft Office
dalam membuat data di Komputer”, dapat ditafsirkan bahwa sepanjang
siswa telah melakukan proses tersebut, maka tujuan telah tercapai, walaupun
siswa belum berhasil “memahami” apa yang telah dipelajarinya sebagai suatu
tujuan. Padahal yang penting bukanlah siswa telah melakukan proses belajar
tertentu, tetapi menunjukkan hasil belajar tertentu.
3) Memilih kata
kerja aktif dan dapat diamati.
Kata kerja dalam tujuan
instruksional haruslah berbentuk kata kerja aktif dan dapat diamati,
seperti menyusun, menggunakan atau mendemonstrasikan.
Bandingkanlah dengan kata kerja memahami, mengetahui,
dan merasakan yang tidak dapat diamati oleh mata serta tidak
bisa diukur ketercapaiannya. Kata “mengetahaui” atau “memahami” dapat berarti “menjelaskan”
atau dapat pula berarti “melakukan”. Kemampuan menjelaskan danmelakukan sangat
besar bedanya. Karena itu, istilah “memahami” disebut tidak jelas dan tidak
pasti karena berarti mengandung banyak pengertian, sehingga perlu dihindari.
4) Tujuan instruksional
mengandung objek seperti penggunaan microsoft office, penyusunan data
dalam microsoft office, dan lompat tinggi.
Bagian ketiga dan keempat dari
tujuan instruksional yang berupa kata kerja dan objek adalah perilaku (behavior)
yang diharapkan dikuasai peserta didik pada akhir proses belajarnya. Itulah
sebabnya tujuan instruksional sering disebut tujuan yang bersifat prilaku (behavior
objective). Ia disebut pula tujuan penampilan (performance objective)
karena akan ditampilkan peserta didik setelah proses belajar.
Bagian ketiga dan keempat
dari tujuan instruksional ini merupakan bagian yang sangat penting. Berdasarkan
kedua bagian tersebut akan disusun tes dan strategi instruksional, termasuk
metode, media, dan isi pelajaran. Karena itu, ketidakjelasan perumusan tujuan
instruksional akan mengakibatkan ketidakjelasan dasar penyusunan komponen
sistem instruksional yang lain. Di samping itu, kegiatan merumuskan tujuan
instruksional merupakan salah satu wujud tanggungjawab seorang pengajar untuk
dapat mengatakan atau orang lain menilai apakah ia berhasil atau belum berhasil
mencapai tujuannya.[12]
Tujuan instruksional di
samping berfungsi sebagai sesuatu yang akan dicapai, berfungsi pula sebagai
kriteria untuk mengukur keberhasilan suatu kegiatan instruksional. Oleh karena
itu, seorang pengajar yang merumuskan tujuan instruksionalnya sebelum mulai
proses pengajaran dapat dipandang sebagai pengajar yang bersedia
mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalannya dalam mengajar. Atas
dasar kriteria itu pula seorang pengajar dapat menentukan kapan ia harus
memperbaiki efektifitas pengajarannya.
Jika ada yang beranggapan
bahwa seorang pengajar tidak perlu merumuskan tujuan, tapi cukup mengajar
dengan sungguh-sungguh saja, kemudian lakukan tes atau evaluasi, maka ini
merupakan anggapan yang keliru. Sebab, pengajaran tanpa perumusan tujuan
instruksional secara jelas akan mempunyai implikasi tidak menentunya standar
mutu pelajaan dan mutu lulusan program tersebut.
Tujuan instruksional umum
(TIU) suatu mata pelajaran mungkin lebih dari satu, tetapi keduanya pasti
berhubungan. Dalam hal seperti itu, TIU harus diurut dari perilaku yang harus
atau sebaliknya dikuasai lebih dulu baru disusul dengan yang lainnya. Urutan
ini akan menjadi petunjuk dalam menentukan urutan isi pelajaran/
Banyaknya TIU tergantung
kepada kompleksitas dan ruang lingkup pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang
akan dipelajari mahasiswa dalam mata pelajaran tersebut. Sebagai patokan umum
mungkin sekitar 3 – 5 buah. Jumlah TIU yang terlalu banyak mungkin akan
mengakibatkan sulitnya pengelolaan kegiatan instruksional. Walaupun demikian,
tidak ada patokan yang dapat disetujui oleh semua orang tentang jumlah TIU ini.
Setelah merumuskan
seluruh TIU tersebut dengan baik, maka selanjutkan seorang pengajar haruslah
melakukan evaluasi terhadap kemungkinan ketercapaian dalam rumusan TIU itu,
termasuk kendala-kendala yang akan dihadapi dalam melaksanakannya. Apabila
ternyata tidak ditemukan kendala, maka TIU tersebut sudah dapat digunakan
sebagai dasar pengembangan instruksional lebih lanjut. Namun jika ternyata akan
diyakini memiliki kendala, maka TIU itu harus direvisi terlebih dahulu.
C- Taksonomi Tujuan
Pendidikan
Kata taksonomi diambil
dari bahasa Yunani tassein yang berarti untuk
mengklasifikasi dannomos yang berarti aturan.
Taksonomi dapat diartikan sebagai klasifikasi berhirarki dari sesuatu, atau
prinsip yang mendasari klasifikasi. Hampir semua — benda bergerak, benda diam,
tempat, dan kejadian — dapat diklasifikasikan menurut beberapa skema taksonomi.[13] Dalam dunia pendidikan, taksonomi ini dibuat guna
mengklasifikasikan tujuan pendidikan. Taksonomi ini pertama kali disusun
oleh Benjamin S. Bloom dan kawan-kawan pada tahun 1956,
sehingga sering pula disebut sebagai “Taksonomi Bloom”. Taksonomi tujuan
pendidikan ini sangat penting bagi tenaga pendidik agar memperoleh hasil yang
maksimal.
Sebagaimana yang
dijelaskan sebelumnya bahwa taksonomi tujuan instruksional membagi tujuan
pendidikan dan instruksional ke dalam tiga domain (ranah/kelompok), yaitu ranah
kognitif (kognitive domain), ranah afektif (affective
domain), dan ranah psikomotor(psychomotor domain).
Adapun Cognitive Domain (Ranah Kognitif) yakni yang berisi
perilaku-perilaku yang menekankan aspek intelektual, seperti pengetahuan, pengertian, dan keterampilan berpikir. Sementara Affective Domain (Ranah
Afektif) berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek perasaan dan emosi,
seperti minat, sikap, apresiasi, dan cara penyesuaian diri. Sedangkan Psychomotor
Domain (Ranah Psikomotor) berisi perilaku-perilaku yang menekankan
aspek keterampilan motorik seperti tulisan tangan, mengetik,berenang, dan mengoperasikan mesin.
Beberapa istilah lain
yang juga menggambarkan hal yang sama dengan ketiga domain tersebut di atas di
antaranya seperti yang diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantoro,
yaitu:cipta, rasa, dan karsa. Selain itu, juga
dikenal istilah: penalaran, penghayatan, danpengamalan.
(1) Taksonomi Tujuan
Kognitif
Taksonomi Bloom sangat
dikenal di Indonesia, bahkan tampaknya yang paling terkenal dibandingkan dengan
Taksonomi lainnya. Taksonomi Bloom mengelompokkan tujuan kognitif ke dalam enam
kategori; yaitu pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan
evaluasi. Keenam kategori ini diasumsikan bersifat hierarkis; yang berarti
tujuan pada level yang tinggi dapat dicapai hanya apabila tujuan pada level
yang lebih rendah telah dikuasai.[14] Keenam kategori ini secara umum akan dijelaskan
berikut ini:
1. Pengetahuan/pengenalan.
Tujuan instruksional pada
level ini menuntut peserta didik untuk mampu mengingat (recall) informasi yang
telah diterima sebelumnya. Misalnya: fakta, terminology, rumus, strategi
pemecahan masalah, dan sebagainya.
2. Pemahaman.
Tujuan pada kategori ini
berhubungan dengan kemampuan untuk menjelaskan pengetahuan/informasi yang telah
diketahui dengan kata-kata sendiri. Dalam hal ini peserta didik diharapkan
untuk menerjemahkan atau menyebutkan kembali yang telah didengar dengan kata-kata
sendiri. Kata kerja yang diperoleh harus operasional, dengan pengertian bahwa
kompetensi dan perilaku tersebut dapat diukur unjuk kerjanya. Hal ini penting
untuk menunjukkan apakah tujuan instruksional yang ditetapkan dapat tercapai
atau tidak pada akhir pembelajaran.
3. Penerapan.
Penerapan merupakan
kemampuan untuk menggunakan atau menerapkan informasi yang telah dipelajari ke
dalam situasi atau konteks yang lain atau yang baru. Sebagai contoh, menyusun kuesioner
penelitian untuk penulisan skripsi merupakan penerapan prinsip-prinsip
penyusunan instrument penelitian yang sebelumnya telah dipelajari mahasiswa
dalam mata kuliah metode penelitian.
4. Analisis
Analisis merupakan
kemampuan untuk mengidentifikasi, memisahkan dan membedakan komponen-komponen
atau elemen suatu fakta, konsep, pendapat, asumsi, hipotesa atau kesimpulan,
dan memeriksa setaip komponen tersebut untuk melihat ada tidaknya kontradiksi.
Dalam hal ini peserta didik diharapkan untuk menunjukkan hubungan di antara
berbagai gagasan dengan cara membandingkan gagasan tersebut dengan standar,
prinsip atau prosedur yang telah dipelajari. Sebagai contoh, pembuatan kritik
suatu karya literatur atau seni merupakan analisis. Tugas seperti ini memerlukan
kemampuan analisis sebab menuntut peserta didik untuk membuat tanggapan
terhadap berbagai aspek, seperti tema, plot, derajat realisme, dan sebagainya,
serta melihat hubungan di antara aspek-aspek tersebut.
5. Sintesis
Tujuan instruksional
level ini menuntut mahasiswa untuk mampu mengkombinasikan bagian atau elemen ke
dalam satu kesatuan atau struktur yang lebih besar. Menulis esay tentang “Perwujudan
Bhineka Tunggal Ika dalam masyarakat Indonesia” merupakan contoh sintesis.
Dalam hal ini mahasiswa harus melihat berbagai aspek social, budaya dan ekonomi
dalam kelompok etnis. Misalnya system kekerabatan, system keagamaan, dan
sebagainya, dan kemudian membandingkan perwujudan berbagai aspek tersebut dan
membuat kesimpulan.
6. Evaluasi
Tujuan ini merupakan tujuan
yang paling tinggi tingkatnya, yang mengharapkan mahasiswa mampu membuat
penilaian dan keputusan tentang nilai suatu gagasan, metode, produk, atau benda
dengan menggunakan kriteria terntu. Sebagai contoh, kemampuan mengevaluasi
suatu program video apakah memenuhi syarat sebagai program instruksional yang
baik atau tidak, merupakan tujuan tingkat evaluasi. Dalam hal ini mahasiswa
harus mempertimbangkan dari segi isi, strategi, presentasi, budaya,
karakteristik pengguna, dan sebagainya. Di samping itu kriteria program yang
baik harus terlebih dahulu jelas bagi mahasiswa.
(2) Taksonomi Tujuan
Afektif
Bagian berikut ini akan
membahas tentang taksonomi tujuan afektif. Taksonomi afektif yang paling
terkenal dikembangkan oleh Krathwohl, dkk. Pada dasarnya Krathwohl berusaha
mengembangkan taksonomi ini ke dalam lima tingkat perilaku. Krathwohl, Bloom,
dan Masia (1964) mengembangkan taksonomi tujuan yang berorientasikan kepada
perasaan atau afektif. Taksonomi ini menggambarkan proses seseorang di dalam
mengenali dan mengadopsi suatu nilai dan sikap tertentu yang menjadi pedoman
baginya dalam bertingkah laku. Krathwohl mengelompokkan tujuan afektif ke dalam
lima kelompok, yaitu:
- Pengenalan/Penerimaan (receiving)
- Pemberian respon (responding)
- Penghargaan terhadap nilai (valuing)
- Pengorganisasian (organization)
- Pengamalan (characterization)[15]
Pengelompokkan ini juga
bersifat hierarkhis, dengan pengenalan sebagai tingkat yang paling rendah
(sederhana) dan pengamalan sebagai tingkat paling tinggi. Makin tinggi tingkat
tujuan dalam hierarkhi semakin besar pula keterlibatan dan komitmen seseorang
terhadap tujuan tersebut.
1. Pengenalan/Penerimaan
(receiving)
Tujuan instruksional
kelompok ini mengharapkan mahasiswa untuk mengenal, bersedia menerima dan
memperhatikan berbagai stimulus. Dalam hal ini mahasiswa masih bersikap pasif,
sekedar mendengarkan atau memperhatikan saja. Contoh kata kerja operasionalnya
adalah: Mendengarkan, Menghadiri, Melihat, Memperhatikan, dan
sebagainya.
2. Pemberian respon
(responding)
Keinginan untuk berbuat
sesuatu sebagai reaksi terhadap suatu gagasan, benda, atau system nilai, lebih
daripada sekedar pengenalan saja. Dalam hal ini mahasiswa diharapkan untuk
menunjukkan prilaku yang diminta, misalnya berpartisipasi, patuh atau
memberikan tanggapan secara sukarela bila diminta.
3. Penghargaan
terhadap nilai (valuing)
Penghargaan terhadap
suatu nilai merupakan perasaan, keyakinan atau anggapan bahwa suatu gagasan,
benda atau cara berfikir tertentu mempunyai nilai (worth). Dalam hal ini
mahasiswa secara konsisten berprilaku sesuai dengan suatu nilai meskipun tidak
ada pihak lain yang meminta, atau mengharuskan. Nilai dan value ini
dapat saja dipelajari dari orang lain. Misalnyan dosen, teman atau keluarga.
4. Pengorganisasian
(organization)
Pengorganisasian
menunjukkan saling berhubungan antara nilai-nilai tertentu dalam suatus sistem
nilai, serta menentukan nilai mana yang mempunyai prioritas lebih tinggi
daripada nilai yang lain. Dalam hal ini mahasiswa menjadi committed terhadap
suatu sistem nilai. Dia diharapkan untuk mengorganisasikan berbagai nilai yang
dipilihnya ke dalam satu sistem nilai, dan menentukan hubungan di antara
nilai-nilai tersebut.
5. Pengamalan
(characterization)
Pengamalan berhubungan
dengan pengorganisasian dan pengintegrasian nilai-nilai ke dalam suatu sistem
nilai pribadi. Hal ini diperlihatkan melalui perilaku yang konsisten dengan
sistem nilai tersebut. Pada tingkat ini mahasiswa bukan saja telah mencapai
perilaku-perilaku pada tingkat-tingkat yang lebih rendah, tetapi telah
mengintegrasikan nilai-nilai tersebut ke dalam suatu filsafat hidup yang
lengkap dan menyakinkan, dan prilakunya akan selalu konsisten dengan filsafat
hidup tersebut. Filsafat hidup tersebut merupakan bagian dari karakter.
Dari contoh-contoh tujuan
afektif ini terlihat bahwa pada tingkat-tingkat yang tinggi (valuing,
organization dan characterization) perilaku yang merupakan
indikator tercapainya tujuan-tujuan tersebut overlapping dan
tidak dapat dipisahkan dengan tegas. Ini menunjukkan bahwa meskipun
secara konseptual tingkat-tingkat tersebut dapat dipisahkan dan nampaknya
mempunyai hubungan hierarkhis, perumusan tujuan tidak dapat dengan jelas
dibedakan. Hal ini pula-lah yang membuat tujuan afektif menjadi sulit
dievaluasi apakah tercapai atau tidak.
(3) Taksonomi Tujuan
Psikomotor
Kawasan psikomotor pada
tahun 1956 kurang mendapat perhatian dari Bloom dan kawan-kawannya karena
mereka tidak percaya bahwa pengembangan tujuan dalam kawasan tersebut sangat
berguna. Tetapi mereka menyebutkan bahwa tujuan pendidikan dalam kawasan ini
berkenaan dengan otot, keterampilan motorik, atau gerak yang membutuhkan
koordinasi otot.[16]
Namun beberapa pakar lain
berhasil mengembangkan taksonomi kawasan psikomotor, salah satunya dikembangkan
oleh Harrow (1972). Taxonomy Harrow ini juga menyusun tujuan psikomotor secara
hierarkhis dalam lima tingkat, mencakup tingkat meniru sebagai yang paling
sederhana dan naturalisasi sebagai yang paling kompleks.
1. Meniru
(Immitation)
Tujuan instruksional pada
tingkat ini mengharapkan mahasiswa untuk dapat meniru suatu prilaku yang
dilihatnya.
2. Manipulasi
(Manipulation)
Pada tingkat ini
mahasiswa diharapkan untuk melakukan suatu prilaku tanpa bantuan visual,
sebagaimana pada tingkat meniru. Mahasiswa diberi petunjuk berupa tulisan atau
instruksi verbal, dan diharapkan melakukan tindakan (prilaku) yang diminta.
Contoh kata kerja yang digunakan sama dengan untuk kemampuan meniru.
3. Ketetapan Gerakan
(Pecision)
Pada tingkat ini
mahasiswa diharapkan melakukan suatu perilaku tanpa menggunakan contoh visual
maupun petunjuk tertulis, dan melakukannya dengan lancar, tepat, seimbang, dan
akurat.
4. Artikulasi
(Artikulation)
Pada tingkat ini
mahasiswa diharapkan untuk menunjukkan serangkaian gerakan dengan akurat,
urutan yang benar, dan kecepatan yang tepat.
5. Naturalisasi
(Naturalization)
Pada tingkat ini
mahasiswa diharapkan melakukan gerakan tertentu secara spontan atau otomatis.
Mahasiswa melakukan gerakan tersebut tanpa berfikir lagi cara melakukannya dan
urutannya.
Dari ketiga kawasan
tujuan pendidikan di atas, yang paling banyak mendapatkan perhatian pada
jenjang pendidikan tinggi adalah kawasan kognitif. Di dalam kawasan kognitif
yang paling penting adalah jenjang analisis sintesis dan evaluasi, karena
sangat dibutuhkan dalam pemecahan masalah.
Tapi sesungguhnya
pengklasifikasian ini tidak dimaksudkan untuk memilah-milah prilaku manusia
seperti halnya kita mencopoti kursi menjadi bagian-bagiannya, melainkan
hanyalah sebagai usaha pakar dalam menganalisis prilaku peserta ddik agar
memungkinkan pengembangan usaha-usaha pendidikan secara lebih sistematis. Dan
dengan mengetahui titik berat kawasan prilaku tersebut, tenaga pendidik dapat
menyusun rencana dan program pendidikan yang lebih terarah kepada tujuan
pendidikan yang dimaksud dan lebih sesuai dengan kebutuhan peserta didik.
D- Penutup
Demikianlah sekilas
pembahasan tentang Tujuan Instruksional Umum yang dapat penulis utarakan pada
kesempatan kali ini. Dan diakhir tulisan ini, ada beberapa kesimpulan yang
dapat kita rangkum, di antaranya:
- Tujuan instruksional merupakan tujuan yang menggambarkan pengetahuan, kemampuan, keterampilan dan sikap yang harus dimiliki oleh siswa sebagai akibat dari hasil pengajaran yang dinyatakan dalam bentuk tingkah laku (behavior) yang dapat diamati dan diukur. Sedangkan tujuan instruksional umum (TIU) merupakan suatu kegiatan mengidentifikasi kebutuhan instruksional untuk memperoleh jenis pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang tidak pernah dipelajari atau belum dilakukan dengan baik oleh peserta didik, (yang mana) jenis pengetahuan, keterampilan dan sikap tersebut masih bersifat umum atau garis besar.
- Tujuan instruksional dikelompokkan dalam tiga kawasan, yaitu kawasan kognitif, afektif, dan psikomotor. Adapun tujuan pengklasifikasian ini merupakan usaha pakar dalam menganalisis prilaku peserta ddik agar memungkinkan pengembangan usaha-usaha pendidikan secara lebih sistematis.
- Perumusan tujuan instruksional yang jelas, terukur, dan dapat diamati menjadi semakin penting untuk dapat menentukan apakah suatu proses belajar-mengajar mencapai tujuan atau tidak. Di antara cara merumuskan tujuan instruksional secara tepat adalah sebagai berikut: (1) Menyebutkan pelaku/audience; yaitu peserta didik; (2) Menggunakan istilah “akan dapat” yang menunjukkan bahwa peserta didik mulai belajar; (3) Memilih kata kerja aktif dan dapat diamati; (4) Menyebutkan kompetensi atau prilaku akhir yang diharapkan dapat dicapai peserta didik.
- Mengingat bahwa pada kenyataannya terjadi interaksi antara faktor kognitif, afektif, dan psikomotor dalam pembelajaran, jika relevan, dalam penyusunan tujuan instruksional pengintegrasian jenis-jenis tujuan tersebut perlu dilakukan.
Sumber : google.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar